Betapa hebatnya kekuatan rakyat saat itu. Kekuatan tersebut tidak datang dari langit, tetapi berangkat dari kesadaran rakyat yang resah atas proses demokrasi dan krisis ekonomi politik akibat sistem yang dijalankan rejim Soeharto (baca: kapitalisme) sedang mengalami krisis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar tinggi yaitu mencapai Rp 20.000,-/ dollar, harga barang naik, sembako mahal, utang tak mampu terbayar karena habis dikorupsi oleh Soeharto dan kroni-kroninya, isu KKN menjadi santer dikalangan rakyat saat itu hingga bermuara pada penggulingan Soeharto. Orang terkuat No 1 di Indonesia, yang berhasil menumpulkan idiologi, politik, organisasi rakyat selama 32 tahun.
Babak baru Soeharto bermula di tahun 1967. Sejak saat itu arus modal semakin pesat di Indonesia. UU no 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing disahkan di masa orde baru, artinya jalan lapang bagi kapitalis-kapitalis Internasional mulai masuk ke Indonesia untuk meluaskan dan mengakumulasikan modalnya, serta mengeksploitasi sumber daya alam dan rakyat Indonesia yang semakin hancur tenaga produktifnya.
Kebijakan demi kebijakan yang dijalankan tidak lepas dari keterlibatan militer di Indonesia, yang mempunyai kekuasaan yang makin kuat pasca pembantaian jutaan manusia pada peristiwa Gerakan 30 September 1965. Keberadaan militer di Indonesia saat ini bukan lahir dari gerakan kemerdekaan rakyat. Sejarahnya, militer Indonesia lahir dari hasil didikan penjajah Belanda dan Jepang untuk menjadikan militer Indonesia sebagai militer profesional yang dilatih untuk menghadapi rakyat dan berpihak pada penguasa. Lewat program restrukturisasi dan rasionalisasi TNI, milisi-milisi yang dibangun rakyat pada awal kemerdekaan bahkan sempat mengkonsolidasikan diri membentuk organisasi militer yang baku, berhasil disingkirkan oleh militer yang berasal dari PETA, HEIHO, dan KNIL.
Hasilnya, hampir segala aspek kehidupan rakyat berhasil dikuasai militer. Intervensi militer semakin kuat, semakin mendominasi dalam setiap kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat Indonesia. Hal ini yang menjadi landasan adanya pembentukan Dwi Fungsi TNI/Polri, dimana peluang TNI/Polri menguasai aset perekonomian di Indonesia jauh lebih besar dan mandiri ketimbang negara sehingga menjadi dorongan TNI/Polri masuk dalam kekuasaan, masuk dalam ranah politik, penentu kebijakan. Ini yang mendasari seluruh penguasaan aset-aset negara jatuh ke tangan Soeharto dan kroni-kroninya yang didominasi oleh kekuatan militer.
Tidak hanya itu, bentuk lain dari dwi fungsi TNI/Polri terlihat dari dibangunnya struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Pembangunan struktur ini dibuat sebagai alat untuk memata-matai/memantau segala gerak gerik, aktifitas, tindakan rakyat sampai struktur administrasi pemerintahan terkecil. Bahkan tidak segan-segan mereka menghabisi/mematikan lawan politik (elit/partai politik lainnya) ataupun organisasi-organisasi rakyat bahkan organisasi perempuan juga dihancurkan bagi yang tidak sejalan dengan kepentingan orba saat itu (kritis terhadap ORBA). Dalam sejarah organisasi perempuan di Indonesia, masa ini dikatakan sebagai awal kematian bagi perjuangan gerakan perempuan di Indonesia karena seluruh gerakan rakyat di pukul mundur oleh rejim orba. Bayangkan saja saat itu hanya boleh didirikan satu organisasi buatan orde baru, dari sektor buruh hanya SPSI, sektor petani hanya HKTI, pemuda dan mahasiswa hanya KNPI, organisasi wartawan hanya PWI, lalu perempuan disatukan dalam dharma wanita, PKK, dharma pertiwi. Ada juga organisasi perempuan Muhammadyah; Aisyah, mereka bisa bertahan karena tidak berposisi tegas terhadap pembantaian perempuan-perempuan GERWANI saat itu, bahkan terkesan cenderung membiarkan peristiwa itu terjadi. Diluar itu, organisasi lain tidak boleh didirikan, karena akan dianggap kontra dengan ORBA. Artinya Dwi Fungsi TNI/Polri mempunyai peran penting atas penumpulan proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia, karena Dwi Fungsi sudah menjadi sistem yang mengakar sejak berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pada masa orba, pembangunan yang berlangsung juga berdiri diatas tumpukan utang yang mengalir ke kantong rejim Soeharto dan kroninya yang setia menjadi boneka imprealis, akibatnya jutaan rakyat menderita karena harus menanggung utang najis warisan orba. Mengapa dikatakan najis? Karena sedari awal tujuan dari diberikannya utang ini bukan untuk membantu produktifitas rakyat Indonesia, tetapi bermuara pada kepentingan modal justru dikorupsi oleh Soeharto dan kroninya. Rakyat hanya mendapatkan sedikit dari ceceran utang tersebut. Sampai pada batas tanggal jatuh tempo pembayaran utang, rejim Soeharto tak mampu membayar hingga krisis pun menjadi tak terhindarkan. Merasa kepentingan modalnya dirugikan karena ulah Soeharto dan kroninya, Kapitalis Internasional tidak mau lagi menjadikan Soeharto sebagai “anak emas” nya dengan kata lain ikut mendukung penggulingan Soeharto. Bagi kapitalisme, korupsi hanya akan menghambat proses pengakumulasian modal sehingga harus dihancurkan.
Protes-protes massa atas situasi ekonomi politik saat itu semakin marak. Tuntutan reformasi total menjadi isu utama. Radikalisasi massa sudah tak terhindarkan, sehingga kekuatan militer dan elit/partai politik lainnya harus pandai melihat situasi. Bagi mereka, pilihan untuk tidak lagi mendukung Soeharto melainkan mendukung agenda reformasi menjadi pilihan tepat di tengah krisis politik 98 yang bermuara pada penggulingan kekuasaan ORBA. Atas beberapa landasan itulah kediktatoran soeharto tumbang bahkan mau tidak mau harus jatuh. Tetapi bukan berarti ancaman orba hilang begitu saja. Saat ini, masih ada sisa orba yang dapat berlenggang bebas tanpa takut akan dosa lama yang mereka perbuat. Lihat saja kemunculan Prabowo dengan alat politiknya Gerindra, Wiranto dengan partai Hanuranya, dll yang memanipulasi rakyat lewat program-program politiknya yang “merakyat”. Hal serupa juga dilakukan oleh elit/partai politik hari ini. Ikut terlibat dalam agenda reformasi 98 tetapi justru mereka sendiri yang tidak menepati cita-cita reformasi, gerakan rakyat ditipu oleh kekuatan elit saat itu.
Inilah bentuk tidak konsistennya borjuasi,elit/partai politik terhadap persoalan rakyat. Artinya bukan hanya sisa orba yang menjadi ancaman bagi rakyat Indonesia dalam menjalankan reformasi total, ancaman tersebut juga datang dari kekuatan baru yang memakai baju “reformis” yakni reformis gadungan dan mereka tidak punya posisi tegas atas orba. Lihat saja, Amien Rais, Gus Dur, Megawati yang berposisi tidak tegas terhadap orba dan militer. Mereka tidak setuju pencabutan Dwi Fungsi ABRI secara cepat bahkan memasukkan para tentara (semisal Theo Syafei) dalam jajaran DPP PDI-P, serta tidak ada yang tegas dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa saat kasus pembantaian jutaan orang di tahun 1965, ORBA, dll. Selain itu tidak jauh berbeda dengan Soeharto, sikap politik reformis-reformis ini juga setia kepentingan modal, dapat dilihat Amien Rais, Megawati Mendukung pasar bebas, dan menudukung pencabutan subsidi BBM, listrik, pupuk, pestisida, pendidikan, dll, yang semua itu menyengsarakan rakyat.
Situasi demokrasi saat ini berbeda dengan yang dijalankan kekuasaan Orba. Demokrasi liberal yang dijalankan rejim SBY-Budiono menciptakan dinamika elit politik yang berlomba-lomba untuk menjadi agen no 1 di Indonesia dengan politik “dagang sapi”nya. Selain itu, bahkan SBY dekat dengan isu keberagaman, walaupun masih ada bentuk-bentuk ketidakdemokratisan seperti pelarangan buku, tidak punya sikap tegas terhadap kasus Ahmaddiyah, dll, namun citra seakan demokratis dimata masyarakat terus dibangun. Inilah demokrasi semu yang dimainkan diatas kolaborasi penguasa no 1 (SBY-Budiono) dengan elit/partai politik lainnya. Jelas, hari ini tidak ada elit/partai politik yang benar-benar membela kepentingan rakyat. Lihat saja situasi kasus Century yang telah bergulir tidak jadi apa-apa dalam penyelesaiannya. Langkah-langkah yang telah ditempuh DPR/MPR hanya memainkan sandiwara politik, seakan ada posisi pro rakyat melawan yang menindas rakyat. Namun sejatinya tindakan politik yang dijalankan elit/partai politik di Indonesia tidak pernah memihak pada kepentingan rakyat melainkan hanya mencari simpatik rakyat agar dapat menjadi kantong suara di ajang pemilihan umum.
Kondisi saat ini memang lebih berat namun tidak boleh menyurutkan propaganda atas kebusukan sistem, penguasa, dan elit/partai politik yang ekonomi politiknya menghamba pada kepentingan modal besar. Di masa orde baru musuh rakyat adalah Soeharto namun dimasa pasca kejatuhan Soeharto sampai pada rejim SBY-Budiono, musuh terhadap rakyat semakin banyak. Melihat sejarah keberlangsungan situasi perkembangan masyarakat Indonesia semakin terlihat siapa musuh rakyat, siapa yang menghambat tenaga produktif rakyat. Mengapa berat? Karena rakyat harus menghadapi 5 musuh rakyat, yaitu imperialis & agen imperialis(SBY-Budiono), sisa orde baru&reformis gadungan, elit politik busuk, militer, dan milisi sipil reaksioner.
Harus optimis untuk menang! hambatan itu bisa dilawan dengan persatuan gerakan rakyat yang non kooptasi& non kooperasi (tidak melebur dan bekerja sama) dengan 5 musuh rakyat tersebut. Tidak ada yang mustahil dalam menyatukan kekuatan-kekuatan rakyat karena keresahan yang terjadi dialami rakyat belakang ini merupakan wujud kongkrit dari ketidak percayaan rakyat pada pemerintahan dan elit/partai politik hari ini. Segera rakyat harus membangun ideologinya, politiknya dan organisasinya serta harus bersatu dengan kekuatan sector rakyat lainnya untuk pembebasan nasional(terlepas dari cengkraman 5 musuh rakyat)! Oleh karena itu tugas kaum yang sadar atas situasi hari ini adalah segera membongkar kebobrokan sistem Kapitalisme yang sudah usang, yang selalu mengaalami krisis agar semakin banyak orang yang berkepentingan terhadap perjuangan menggulingkan sistem kapitalisme dan mengganti dengan sistem yang lebih menyejahterakan seluruh umat manusia (baca: sosialisme) dengan jalan Pembebasan Nasional.
Demi terwujudnya Pembebasan Nasional, maka dalam respon kejatuhan Soeharto ini kami menuntut:
1. LAWAN dan GULINGKAN IMPERIALISME DAN AGEN IMPERIALISME (SBY-BOEDIONO)!!
2. LAWAN DAN GULINGKAN PARLEMEN/ELIT POLITIK BUSUK MUSUH RAKYAT !!
3. LAWAN DAN HANCURKAN MILITERISME!!
4. HANCURKAN SISTEM DWI FUNGSI TNI/POLRI!!
5. TOLAK UTANG NAJIS PENINGGALAN ORBA!!
6. USUT TUNTAS, TANGKAP DAN ADILI PELAKU PELANGGAR HAM!!
7. LIBATKAN RAKYAT DALAM SETIAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN!!
Atas situasi ekonomi politik dari rejim ORBA hingga saat ini, SBY-Budiono: Bukan rakyat penyebab krisis dan tidak akan bisa bahkan jangan sekali-kali bersandar pada kekuatan elit dan musuh rakyat lainnya dalam menyelesaikan persoalan rakyat. Maka jalan keluar politik, kami menyerukan segera:
1. PEMBEBASAN NASIONAL: LAWAN dan GULINGKAN IMPERIALISME DAN AGEN IMPERIALISME (SBY-BOEDIONO) SERTA MUSUH RAKYAT LAINNYA!!
2. BANGUN ORGANISASI DAN GERAKAN YANG NON KOOPTASI-KOOPERASI DARI MUSUH RAKYAT DI SETIAP SEKTOR RAKYAT!!
3. MEMBANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT YANG NON KOOPTASI-KOOPERASI DARI MUSUH RAKYAT SEBAGAI EMBRIO PEMERINTAHAN ALTERNATIF (PEMERINTAHAN PERSATUAN RAKYAT)!
Jalan keluar ekonomi yang kami tawarkan untuk mengatasi krisis, menyerukan segera:
1. NASIONALISASI (AMBIL ALIH) INDUSTRI TAMBANG ASING DI BAWAH KONTROL RAKYAT !!
2. BANGUN INDUSTRI NASIONAL DIBAWAH KONTROL RAKYAT!!
3. HAPUS HUTANG LUAR NGERI!!